Atas Nama Cinta Mahasiswa

Seorang perempuan datang atas nama cinta
Bunda pergi karna cinta
Digenangi air racun jingga adalah wajahmu
Seperti bulan lelap tidur di hatimu
Yang berdinding kelam dan kedinginan

Ada apa dengannya?
Meninggalkan hati untuk dicaci
Lalu sekali ini aku melihat karya surga
Dari mata seorang hawa

Ada apa dengan cinta?
Tapi aku pasti akan kembali
Dalam satu purnama
Untuk mempertanyakan kembali cintanya
Bukan untuknya, bukan untuk siapa
Tapi untukku
Karena aku ingin kamu, itu saja...

(Ada Apa dengan Cinta, 2002)

Merasa familiar dengan puisi di atas? Yap, puisi yang baru saja kalian baca adalah puisi yang ditulis Rangga (Nicholas Saputra) untuk Cinta (Dian Sastrowardoyo) dalam film Ada Apa dengan Cinta yang disutradarai oleh Rudi Soedwarjo sebelum Rangga pergi meninggalkan Cinta. 

Tapiiiii, dipostingan kali ini, bukan tentang cinta antara Rangga dengan Cinta yang akan saya bahas. Tapi arti cinta bagi mahasiswa. Lah? kok? 
Iya. Benar. Mahasiswa. 
Makhluk fakir harta tetapi kaya akan karya "katanya". Makhluk andalan bangsa yang digebu-gebu intelektualitasnya "katanya". Makhluk penuh misteri yang bahkan sullit kita tebak isi kepalanya. Proses menuju dewasa "katanya". 

Penasaran tentang arti cinta menurut para mahasiswa yang katanya super sibuk? Mulai dari mahasiswa yang hobi rapat. Berpendapat dengan bahasa setinggi langit berpedoman pada bahasa vikinisasi, memamerkan intelegensinya untuk menaikkan gengsi "katanya". Sampai mahasiswa pasif yang berjalan bagai ninja, pulang via jurus ninjutsu seusai kuliah. Semuanya demi bangsa "katanya". Lah? Tapi kok makhluk misterius ini tidak pernah menunjukkan kehidupan romansanya ya? Pastinya tidak mungkin jika romansa tidak mewarnai kehidupan kampus mereka bukan?  

Saya berhasil mewawancarai 15 responden mahasiswa ITB dari berbagai jurusan dan rentang usia. Mahasiswa ITB yang "katanya" anak terbaik pilihan bangsa. Mahasiswa yang dipingit bangsa. 

Pada postingan ini, saya memilih kata "menjalin kasih" dibanding "pacaran", tetapi arti menjalin kasih yang saya gunakan ialah pacaran, bukan pernikahan. Jadi jangan salah kaprah ya. Selain itu mahasiswa jelas laki-laki. Bukan mahasiswi. Jadi bagi kalian yang penasaran sama pendapat siswa-siswa dengan jabatan "maha" ini, terlebih dari institut yang katanya "anak-anak pilihan" tetap pantangin postingan ini ya. 

Dalam wawancara ini terdapat 8 pertanyaan yang saya ajukkan. Dimulai dengan pendapat mereka mengenai arti cinta, lalu pengalaman mereka tentang cinta dan bagaimana rasanya tenggelam dalam perasaan itu. Apa yang menyebabkan mereka terkadang begitu sulit menyatakan cinta? Apakah saat ini ada orang yang mengisi hati mereka? Atau bahkan mereka sudah terikat dalam hubungan dengan seseorang? Jika tidak punya kekasih, mengapa demikian? Apa sulit mendapat kekasih? Kapan menurut mereka waktu yang tepat untuk memadu kasih dengan seseorang? Haruskan mapan menjadi salah satu syarat menjalin kasih dengan orang terkasih?

Yuk kita simak pendapat mereka!

Berdasarkan pertanyaan tersebut, seluruh responden berpendapat bahwa cinta merupakan perasaan senang. Fitrah manusia. Bahagia dibuatnya. Kagum padanya. Senyum ketika yang terkasih tersenyum. Sedih ketika yang terkasih sedih. Terasa nyaman bicara dengannya. Mata tak dapat terlepas memandangnya. Mereka berpendapat perasaan ini timbul akibat serangkaian reaksi kimia dalam tubuh kita, atas dasar keinginan untuk menyintaskan spesies. Perasaan indah untuk seseorang yang spesial. Perasaan penuh misteri "katanya".

Untuk pertanyaan kedua, semua responden pernah merasakan cinta. Rasanya sesak, penuh, khawatir dengannya tapi tetap saja cinta membuat mereka betah. Jadi dibuat tak karuan karenanya. Bertingkah tak seperti biasanya. Hati berkunang-kunang, mata galau, jantung berdebar, perut tergelitik, otak mengabur. Aneh. Padahal tidak ada yang salah, tetapi sistem di tubuh berbuat demikian. Menyulitkan namun nyaman. Campur aduk.

Sebagian besar dari responden memiliki orang yang sedang dicintainya. Tetapi 14 orang tidak memiliki kekasih, termasuk mereka yang terjebak dalam hubungan tanpa status. Hanya 1 orang yang mengaku sudah bersama yang terkasih. Sulit bagi mereka menyatakan cinta. Tak mampu untuk jujur pada perasaannya. Takut hubungan yang saat ini cukup nyaman bagi mereka hancur, berubah. Takut ditolak.Terlebih takut karena hasilnya belum jelas. Sudah jadi tendensi manusia untuk menghindari yang tidak dia ketahui hasilnya.

Alasan belum memiliki kekasih? Karena yang sejati itu tidak nampak. Hubungan itu tidak menciptakan kesempurnaan. Alasan agama adalah jawaban dari 10 responden. Menyimpulakan alasan agama sebagai alasan yang paling kuat. Sisanya menjawab belum saatnya, belum terbebas dari cinta yang lama, dan tidak ingin terikat dalam ketidakpastian. 

Menjalin hubungan dengan orang terkasih tidak terlalu sulit "katanya". Karena itu adalah pilihan. Sebagian besar menjawab bukan saatnya, masih banyak yang perlu diprioritaskan. Tidak sulit karena sedang tidak mencari. Jika tiba saatnya untuk mencaripun jelas tidak sulit, karena yakinlah jodoh tidak akan salah orang. Beberapa responden bahkan berada dalam hubungan tanpa status dengan orang yang disukainya. Jadi.. tidak terlalu sulit. 

Waktu yang tepat untuk menjalin kasih dengan yang terkasih? Setelah siap. Terdapat 8 responden yang menjawab memilih menjalin kasih setelah pernikahan adalah saat yang tepat. Karena waktu yang tepat untuk mengenal tidak ada patokan. Jika sudah bertemu yang tepat, jaga komitmen, jalin hubungan yang serius, yaitu pernikahan, lalu pacaran. Selain itu, beberapa menjawab setelah lulus. Karena saat ini belum saatnya. Setelah pendidikan selesai. 

Mapan sebagai syarat menjalin kasih? Hampir semua responden menjawab mapan bukanlah syarat seseorang harus memulai pacaran. Sebab pacaran dalam konteks yang dibahas tidaklah serius. Asal tidak merepotkan orang tua. Mapan bukan syarat, tetapi alangkan baiknya jika mapan. Dalam hal pacaran setelah pernikahan, responden menjawab bahwa mapan tidak sama dengan kaya, pacaran baru bisa dilakukan setelah menikah, menikah butuh pribadi yang mapan, jadi pacaran harus mapan. 

Yup. Itulah pendapat dari kaum intelek dari golongan mahasiswa ITB. Jika disimpulkan, maka sebagain besar dari responden memilih untuk tidak pacaran, karena belum saatnya dan bukan prioritas. Nanti saja pacarannya. Setelah pendidikan selesai atau setelah "kita" menikah. Lebih manis. Saat ini masih banyak yang harus dipikirkan. Takut jika terburu-buru justru menyakitinya. Sabar saja. Mencari jodoh tidak sulit. Karena jodoh tidak akan salah alamat. Mahasiswa ITB belum butuh jodoh, sukses terlebih dahulu agar dapat membahagiakan jodoh yang "mungkin" saat ini belum dipertemukan kita olehnya. Pacaran tidak penting. Yang penting proses mengenalnya. Setelah itu menikah saja. Komitmen. Seriusin. Karena "kita" laki-laki. 

P.S. Postingan ini dibuat sebagai salah satu tugas mata kuliah Teknik Komunikasi Ilmiah (TKI) ITB. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer